Entri Populer

Kamis, 13 Januari 2011

HUKUM POLIGAMI DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
           
Dari sejarah kehidupan manusia, jauh sebelum datangnya agama Islam, poligami sudah hampir dilakukan oleh semua bangsa, baik Asia, Eropa, Afrika maupun Amerika. Pada intinya sejak zaman primitif poligami sudah dilakukan, bahkan hingga sampai sekarang. Bahkan, bangsa Romawi menerapkan peraturan ketat kepada rakyatnya untuk tidak beristri lebih dari seorang, kaum raja dan bangsawannya banyak memelihara selir yang tidak terbatas jumahnya. Raja Solomon misalnya, mempunyai tujuh ratus orang istri dengan beratus-rstus gundik. Raja Niger di Afrika memiliki ribuan istri, bahkan Raja Uganda yang mencapai rekor fantastis dengan mempunyai tujuh ribu istri. Karena dalam masyarakat tradisional Afrika banyaknya jumlah istri merupakan suatu kebanggaan tersendiri, sebagai lambang kesuksesan dan tingginya status sosial dalam masyarakat.
Poligami juga tidak menutup kemungkinan menjadi sesuatu yang diminati oleh masyarakata Indonesia. Mulai dari permasalahan nafsu hypersex, pertengkaran dalam rumah tangga, perselingkuhan sampai keadaan dimana istri yang tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Meskipun dalam Islam ada lampu kuning untuk melakukan poligami, namun jika tidak bisa untuk berlaku adil maka diwajibkan untuk menikahi satu orang istri saja. Dari persyaratan “keadian” inilah yang masih dikesampingkan oleh sebagian banyak orang. Untuk itu lahirlah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai bentuk respon yang positif untuk mengatur seorang suami yang ingin menikah lebih dari satu orang. Tentunya dengan berdasarakan pada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Demikian juga lahirlah Kompilasi Hukum Islam yang mengatur ketentuan poligami yang lebih condong pada agama Islam.
Dari ketentuan UU No. 1/1974 dan KHI ini bertujuan untuk mmemberikan ketentuan/persyaratan  suami yang hendak menikah lagi, sehingga tertutuplah sikap sewena-wena dari pihak suami. Hal ini juga demi terciptanya keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Tentunya dengan dilakukannya poligami ini akan ada hikmah yang terkandung didalamnya jika dilandasi oleh rasa keadilan. Jika tidak dilandasi oleh rasa keadilan petaka yang nantinya akan timbul dalam rumah tanga mereka.

BAB II
PEMBAHASAN
           
A. Pengertian Dan Dasar Hukum Poligami
            Kata-kata poligami berasal dari bahasa Yunani,yaitu terdiri kata polus yang artinya banyak dan gamein yang artinya kawin. Jadi poligami adalah seseorang yang mempunyai beberapa orang istri pada saat yang sama. Dalam bahasa Arab poligami disebut ta’diiduz-zaujaat (berbilangan pasangan). Sedangkan dalam bahasa Indonesia poligami disebut dengan permaduan.[1]
            Menurut ajaran Islam, perkawinan poligami diperbolehkan atas dasar Q. S. An-Nisa’: 3), yaitu:

bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.[2]
            Allah SWT membolehkan berpoligami sampai 4 orang istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Yaitu adil dalam melayani istri, memberikan nafkah, tempat tinggal, pakaian, giliran dalam hal lahiriyah. Namun jika tidak bisa berlaku adil, maka cukup satu istri saja (monogami).[3]



B. Poligami Menurut UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
            Di Indonesia masalah Poligami diatur Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Peratura Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 tentang Aturan Pelaksanaan Undang-Undang  No. 1/ 1974. Bagi pegawai negeri sipil, aturannya dipisahkan melalui Perturan Pemerintah (PP) No. 10/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.[4]
            Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU Perkawinan berikut aturan pelaksanaannya, pada prinsipnya selaras dengan ketentuan Hukum Islam. Menurut Undang-Undang tersebut, pada prinsipnya sitem yang dianut oleh Hukum Perkawinan RI adalah asas monogami, satu suami untuk satu istri. Namun dalam hal atau alasan tertentu, seorang suami diberi izin untuk beristri lebih dari seorang. Hal ini tercantum dalam pasal 3, yaitu:
  1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
  2. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Ketentuan Poligami menurut UU No. 1/1974 tentang Perkawinan diatur dalam pasal 4 dan pasal 5.[5] Seorang suami yang diberi izin utuk menikah lebih dari satu harus tergambar dalam serangkaian alasan yang berat.. Adapun alasan yang dimaksud merupakan suatu hal yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan poligami karena memandang alasan-alasan tersebut menjadi penyebab ketidak bahagianya kehidupa rumah tangga mereka.   Hal ini tergambar dalam pasal 4, yaitu:
  1. Dalam hal seseorang suami akan beristri lebih dari seseorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan daerah tempat tinggalnya.
  2. Pengadilan dimaksud ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a.       Istri tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b.      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.       Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Dapat tidaknya seorang suami beristri lebih dari seorang ditentukan Pengadilan Agama berdasarkan terpenuhi atau tidaknya persyaratan yang dimaksudkan. Jadi meskipun seorang suami mempunyai alasan-alsan yang jelas untuk melakukn poligami, namun tetap harus memenihui persyaratan-persyartan yang sudah ditentukan. Hal ini tercantum dalam pasal 5, yaitu:
  1. Untuk dapat mengajukan permohonan ke pengadilan, sebagaimana dimaksudkan pasa 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
    1. Adanya persetujuan dari istr/istri-istri
    2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri da anak-anak mereka.
    3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
  2. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a. pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimitai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selam sekurang-kurangnya 2(dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Persyaratan-persyaratan pada pasal 4 adalah persyaratan pilihan, artinya bagi yang akan menjalankan poligami harus menjelaskan alasan di antara ketiga alasan tersebut. Namun sebelumnya pemohon diharuskan memenuhi persyaratan kumulatf, seluruh persyaratan yang dinyatakan dalam pasal 5 ayat (1) sebelum diajukan ke pengadilan, sesuatu yang hamper mustahil teraksana.

C. Poligami Menurut Kompilasi Hukum Islam
            Dalam KHI ketentuan beristri lebih dari satu orang tertera dalam Bab IX mulai pasal 55 sampai 59. Dalam KHI.[6] Disebutkan bahwa batasan seorang suami yang hanya boleh menikah sampai empat orang istri saja. Hal itu pun juga dengan persyaratan yang harus dipenuhi. Pasal 55, berisi:
  1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan terbatas hanya sampai empat orang istri.
  2. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
  3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.
Seorang suami yang hendak beristri lagi harus mendapat izin dari Pengadilan Agama untuk mendapatkan kekuatan hokum yang sah. Hal ini diatur dalam pasal 56, yaitu:
  1. Suami yang hendak beristri lebh dari satu orang harus mendapatkan izin dari Pengadila Agama.
  2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan No. 9 Tahun 1975.
  3. Perkawinanyang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak memunyai kekuatan hokum.
Dalam hal perizinan, seorang suami akan mendapatkan izin dari Pengadilan Agama jika terdapat suatu keadaan yang sesuai dengan ketentuan. Hal ini diatur daam pasal 57, yaitu:
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
  1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
  2. Istri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
  3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Sebelum Pengadilan Agama memberikan izinnya, juga harus dipenuhinya suatu persyaratan yang sudah ditentukan. Hal ini diatur daam pasal 58, yaitu:
  1. Selain syarat utama yang disebut pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pegadilan Agama harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 UU No. 1/ 1974, yaitu:
    1. Adanya persetujuan istri
    2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
  2. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No 9/1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada siding Pengadilan Agama.
  3.  Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Dalam hal tidak diberikannya izin suami oleh pihak istri diatur dalam pasal 59, yaitu:
Dalam hal istri tidak mau mamberikan peretujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

D. Hubungan UU No. 1/1974 dan KHI Tentang Poligami
            Pada dasarnya diantara kedua ketentuan ini dalam hal perkawinan lebih mengarah pada asas monogami. namun karena adanya suatu keadaan tertentu sehinggan poligami diperbolehkan dengan suatu persyaratan-persyartan yang harus dipenuhi. Dalam UU No.1/1974 tidak sebutkan batasan seorang yang ingin menikah lebih dari satu, berbeda dengan KHI yang cuma membatasi 4 orang istri bagi seorang suami yang ingin menikah lagi.
            Dari alasan seorang suami yang ingin menikah lagi dari ketentuan dua peraturan ini tidak ada perbedaan, yaitu sama-sama mengarah pada keadaan dan kondisi si istri. Demikian juga dalam persyaratn untuk bisa diizinkan oleh Pengadilan yaitu harus adanya syarat utama yaitu adanya persetujuan dari istri/istri-istri. Namun dalam KHI persetujuan dari istri juga harus dibuktikan secara secara lisan dalam sidang di Pengadilan Agama.
            Dalam UU No1/1974 dan KHI juga sama mengatur  kasus dimana istri tidak bisa dimintai izin karena keadaan tertentu yang menghalanginya atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim. Namun dalam hal dimana istri tidak mau memberikan izin kepada suami yang ingin menikah lagi, maka pihak suami atu istri bisa mengajukan banding atau kasasi. Berbeda dengan UU No.1/1974 yang tidak ada kesempatan mengaukan banding atau kasasi. Sehingga jika istri tidak mengizinkan maka tidak bisalah suami untuk menikah lagi.     

E. Hikmah Poligami
            Megenai hikmah diizinkan beporligami (dalam kedaan darurat dengan syarat berlaku adail) antara lain adalah sebagai berikut:[7]
  • Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri mandul.
  • Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun istri tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istri, atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tak dapat disembuhkan.
  • Untuk menyelamatkan suami dari yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya.
  • Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di Negara/masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya, misalnya akibat peperangan.
Namun apabila poligami dilakukan tanpa adanya suatu rasa keadilan dan tanpa adanya sesuatu keadaan yang daruat maka kekacaunlah nantinya yang akan timbul dalam rumah tangga. Dalam kenyataanya manusia hanya cenderung menyanyangi satu diantara yang banyak, apalagi terhadap istri yang lebih cantik, muda dan segar. Maka hal ini akan menimbulkan suatu perbuatan yang sewena –wena suami terhadap istri-istrinya yang lain, bahkan banyak kasus yang menjurus pada perbuatan zalim. Sehingga menyebabkan menderitanya istri-istri yang lain. Padahal tujuan utama melaksanakan perkawinan yaitu untuk menciptakan suasana rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah.[8]








BAB III
PENUTUP

            Ketentuan poligami dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, diatur dalam pasal 4 dan pasal 5. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Bab IX mulai pasal 55 sampai pasal 59. dari kedua ketentuan ini dapat ditarik kesimpulan dari hubungan yang terkait di dalamnya seta perbedaannya.
             Dalam UU No.1/1974 tidak sebutkan batasan seorang yang ingin menikah lebih dari satu, berbeda dengan KHI yang cuma membatasi 4 orang istri bagi seorang suami yang ingin menikah lagi.
            Dari alasan seorang suami yang ingin menikah lagi dari ketentuan dua peraturan ini tidak ada perbedaan, yaitu sama-sama mengarah pada keadaan dan kondisi si istri. Demikian juga dalam persyaratn untuk bisa diizinkan oleh Pengadilan yaitu harus adanya syarat utama yaitu adanya persetujuan dari istri/istri-istri. Namun dalam KHI persetujuan dari istri juga harus dibuktikan secara secara lisan dalam sidang di Pengadilan Agama.
            Dalam UU No1/1974 dan KHI juga sama mengatur  kasus dimana istri tidak bisa dimintai izin karena keadaan tertentu yang menghalanginya atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim. Namun dalam hal dimana istri tidak mau memberikan izin kepada suami yang ingin menikah lagi, maka pihak suami atu istri bisa mengajukan banding atau kasasi. Berbeda dengan UU No.1/1974 yang tidak ada kesempatan mengaukan banding atau kasasi. Sehingga jika istri tidak mengizinkan maka tidak bisalah
            Hikmah Poligami yang dilandasi oleh rasa keadilan yaitu:
  • Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri mandul.
  • Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun istri tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istri, atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tak dapat disembuhkan.
  • Untuk menyelamatkan suami dari yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya.
  • Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di Negara/masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya.

DAFTAR PUATAKA

            Arkola. Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia. Arkola: Surabaya.
            Asy Syaifani, Khadim al Haramain. Al Qur’an Dan Terjemahan. Saudi Arabia
            Centre, Media. Kompilasi Hukum Islam. Media Centre: Jakarta.
            Ghazaly, Abd Rahman. Fiqh Munakahat. Kencana: Jakarat.
Hakim, Rahmat. Hukum Perkawinan Islam. Pustaka Setia: Bandung.
           


[1] Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, hal: 113.
[2] Khadim al Haramain asy Syarifani, Al Qur’an Dan Terjemahan, Saudi Arabia.
[3] Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, hal: 129.
[4] Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, hal:121.
[5] Arkola, Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia, hal: 6.
[6] Media Center, Kompilasi Hukum Islam, hal: 134.
[7] Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, hal: 136.
[8] Rahmat Hakim, Hukum Perkawianan Islam, hal: 114. 

1 komentar:

  1. Asslmkm…wrwb

    Gak Sallaahh??

    Dan……

    Berdasarkan sensus penduduk 2000 dan 2010 ternyata justru JUMLAH PRIA DI INDONESIA LEBIH BANYAK DARI WANITANYA.

    “laki2 jaman sekarang biasanya mati2an menentang atau berusaha menutup2i fakta ini dengan berbagai alasan dan dalih”

    Begitu juga dengan data negara2 di dunia (CIA, Bank Dunia, PBB, dll) ternyata jumlah pria juga lebih banyak dari wanitanya (terutama untuk China, India, dan negara-negara Arab)

    Yup jumlah wanita memang sangat melimpah tapi di usia di atas 65 tahun, mauu?? hehe….kalo ngebet, silakan poligami dengan golongan wanita usia ini.

    Cek di data resmi BPS dan masing2 pemda atau coba klik di:

    http://sosbud.kompasiana.com/2013/05/16/makan-tuhh-poligami-vs-fakta-demografi-560923.html

    http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=40¬ab=1

    http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=263&wid=0

    http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=12&notab=4

    http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321
    http://www.datastatistik-indonesia.com/portal/index.php?option=com_content&task=view&id=211&Itemid=211&limit=1&limitstart=2

    http://statistik.ptkpt.net/_a.php?_a=penduduk_ratio&info1=4
    Kira2 apa ya solusi dari kelebihan pria ini?
    masih tetap POLIGAMI? Hanya akan semakin “merampas” kesempatan bujangan pria lain untuk dapat menikah

    perkiraan dan kepercayaan selama ini “turun temurun” yang selalu jadi senjata bagi pria yang ngebet ingin berpoligami bahwa jumlah wanita jauh berlipat lipat di atas pria ternyata SALAH BESAR

    Hasil Sensus Penduduk 2010 berdasar jenis kelamin perpropinsi
    Kode, Provinsi, Laki-laki, Perempuan, Total Penduduk
    1 Aceh, 2 248 952, 2 245 458, 4 494 410
    2 Sumatera Utara, 6 483 354, 6 498 850, 12 982 204
    3 Sumatera Barat, 2 404 377, 2 442 532, 4 846 909
    4 Riau, 2 853 168, 2 685 199, 5 538 367
    5 Jambi, 1 581 110, 1 511 155, 3 092 265
    6 Sumatera Selatan, 3 792 647, 3 657 747, 7 450 394
    7 Bengkulu, 877 159, 838 359, 1 715 518
    8 Lampung, 3 916 622, 3 691 783, 7 608 405
    9 Bangka Belitung , 635 094, 588 202, 1 223 296
    10 Kepulauan Riau, 862 144, 817 019, 1 679 163
    11 DKI Jakarta, 4 870 938, 4 736 849, 9 607 787
    12 Jawa Barat, 21 907 040, 21 146 692, 43 053 732
    13 Jawa Tengah, 16 091 112, 16 291 545, 32 382 657
    14 DI Yogyakarta, 1 708 910, 1 748 581, 3 457 491
    15 Jawa Timur, 18 503 516, 18 973 241, 37 476 757
    16 Banten, 5 439 148, 5 193 018, 10 632 166
    17 Bali, 1 961 348, 1 929 409, 3 890 757
    18 Nusa Tenggara Barat, 2 183 646, 2 316 566, 4 500 212
    19 Nusa Tenggara Timur, 2 326 487, 2 357 340, 4 683 827
    20 Kalimantan Barat, 2 246 903, 2 149 080, 4 395 983
    21 Kalimantan Tengah, 1 153 743, 1 058 346, 2 212 089
    22 Kalimantan Selatan, 1 836 210, 1 790 406, 3 626 616
    23 Kalimantan Timur, 1 871 690, 1 681 453, 3 553 143
    24 Sulawesi Utara, 1 159 903, 1 110 693, 2 270 596
    25 Sulawesi Tengah, 1 350 844, 1 284 165, 2 635 009
    26 Sulawesi Selatan, 3 924 431, 4 110 345, 8 034 776
    27 Sulawesi Tenggara, 1 121 826, 1 110 760, 2 232 586
    28 Gorontalo, 521 914, 518 250, 1 040 164
    29 Sulawesi Barat, 581 526, 577 125, 1 158 651
    30 Maluku, 775 477, 758 029, 1 533 506
    31 Maluku Utara, 531 393, 506 694, 1 038 087
    32 Papua Barat, 402 398, 358 024, 760 422
    33 Papua, 1 505 883, 1 327 498, 2 833 381
    TOTAL, 119 630 913, 118 010 413, 237 641 326
    Sex Ratio Indonesia (menurut BPS) beginilah data yang saya dapat:
    - Tahun 1971 = 97.18 pria : 100 wanita
    - Tahun 1980 = 99.82 pria : 100 wanita
    - Tahun 1990 = 99.45 pria : 100 wanita
    - Tahun 1995 = 99.09 pria : 100 wanita
    - Tahun 2000 = 100.6 pria : 100 wanita
    - Tahun 2010 = 101,01 pria : 100 wanita
    Bisa dilihat, ternyata tren sex ratio semakin meningkat, dalam arti dari tahun ke tahun jumlah pria semakin melebihi wanita

    Poligami????? Anehh…

    BalasHapus